Senin, 15 Oktober 2012

SEJARAH LEGENDA NCUHI LA RAJI MATA AIR "OI DIWU RANA"

 


PROFIL MATA AIR “OI DIWU RANA”
DUSUN DIHA DESA SIE KECAMATAN MONTA KABUPATEN BIMA

I. PENDAHULUAN    

     Desa sie merupakan sebuah Desa yang berada di wilayah kecamatan Monta Kabupaten Bima dengan Jumlah penduduk 3950 Jiwa. luas wilayahnya + 5761 Ha terdiri dari lahan sawah 430 Ha, lahan perkebunan 435 Ha, lahan Hutan 989 Ha,  Desa Sie terdiri dari 3 (tiga) dusun antara lain Dusun Sie, Dusun Waworada dan Dusun Diha. Dari ketiga dusun tersebut dusun Diha cukup terisolir dibandingkan dari dusun yang lainnya akan tetapi punya potensi alam yang sangat bagus dalam menunjang di bidang pertanian yaitu dengan adanya sumber mata air yang ada di dusun diha, dengan luas wilayahnya ±1500 Ha, luas lahan sawah 35 Ha, luas perkebunan 18 Ha, luas hutan ±1300 Ha dan luas pemukiman ±147 Ha.

       Potensi Sumber mata air yang ada didusun diha sangat membantu masyarakat sekitar dalam pemanfaatannya disamping sebagai usaha pertanian, peternakan dan perkebunan dan sebagai konsumsi air minum masyarakat sekitar. Sumber mata air dengan titik koordinat  Dusun Diha 080. 40׳ .13,3” Lintang Selatan ( LS ) dan 1180.42׳ .20.2 Bujur Timur ( BT ), Jalan ke lokasi Mata Air 080. 40׳ .3,96 ״ Lintang Selatan ( LS ) dan 1180. 42׳.37,3 ״ Bujur Timur ( BT ) dan titik koordinat Mata air “OI DIWU RANA” 080. 40׳ .6,36” Lintang Selatan ( LS ) dan 1180.43׳ .12,3 ״  Bujur Timur ( BT ) dengan debit air  ±7.63 L/dtk.
       Pengelolaan mata air “OI DIWU RANA” oleh masyarakat yang tinggal disekitarnya dengan merawat hutan secara lestari telah berkembang dengan kepedulian masyarakat yang cukup tinggi hal ini terbukti dengan adanya tutupan vegetasi disekitar mata air.

      II.  SEJARAH MATA AIR “OI DIWU RANA”

A.   LEGENDA MATA AIR
Mpama La Raji
                                                               (Legenda La Raji)

Sumber cerita H. Brahima, usia 53 tahun; tokoh masyarakat Dusun Diha Desa Sie Kecamatan Monta
Diceritakan kembali kedalam bahasa indonesia oleh Tim Survey Permata BLH Kab. Bima

Al Kisah, Sangaji Mbojo (Raja Bima masa Para Ncuhi; pra kesultanan) mengumpulkan para Ncuhi karena ada masalah serius yang terjadi di antara para ncuhi (Ncuhi adalah Tokoh masyarakat yang merintis  suatu wilayah pemukiman sehingga menjadi suku/bangsa yang menempati wilayah tertentu, biasanya ditandai dengan sebuah gunung yang paling tinggi di wilayah ncuhi berdomosili. Ncuhi juga sebagai tokoh spiritual yang memiliki Kesaktian).


Maka berkumpullah para ncuhi di suatu tempat yang bernama Mbata Mboha. hadir ncuhi Dara; pemimpin para ncuhi, ncuhi parewa; sebelah Barat Monta, ncuhi Lambitu; timur monta, dan ncuhi-ncuhi yang lain. sangaji mempertanyakan, kenapa tidak hadir ncuhi wilamaci (selatan Monta) yang bernama Ngaro la Ngawu dan ncuhi la Raji (Dusun Diha Kec. Monta sekarang, tepatnya di Doro La Raji).
Sangaji telah mendengar kabar adanya pertikaian antara kedua ncuhi tersebut. Ngaro La ngawu menculik ibunda La Raji yang bernama Fifa Gafirli. Fifa Gafirli tersohor karena kecantikannya. Suaminya tidak disebut, entah dimana. Namun memiliki sebuah mahkota berupa sepasang tanduk emas. Mahkota ini juga dirampas oleh ngaro la ngawu.

Kemudian sangaji menitahkan untuk memanggil la raji. Maka berangkatlah utusan untuk menyampaikan undangan sangaji tersebut. La raji nampaknya masih diliputi amarah dan menolak secara halus dengan menjawab; “tidak pantas hamba yang hina ini menghadap sangaji”. Dan utusan pun kembali ke mbata mboha. Menyampaikan penolakan la raji tersebut kepada sangaji.
Tetapi sangaji kembali menitahkan kepada utusan itu untuk mengundang La Raji sekali lagi. Maka berangkatlah utusan menuju Doro diha. Sesampainya dihadapan la raji, disampaikanlah undangan sangaji. Kembali la raji menolak dengan ungkapan yang sama. Dan pulanglah utusan sangaji kembali ke Mbata mboha.

Kali ketiga ini, sangaji tidak kehabisan akal. Beliau dapat memaklumi kalau la raji masih diliputi amarah. Maka disiapkan kuda lengkap dengan pelananya untuk  tumpangan la Raji. Sehingga tak ada lagi alasan untuk menolak undangan sangaji. Al hasil, la raji tak dapat berkelit lagi. Dia katakan kepada utusan itu agar berangkat lebih dahulu dan dia menyusul dibelakang dengan berjalan kaki.

Telapak kaki la raji di bagian tengahnya ‘Mbonci’ artinya bagian yang tidak dibalut kulit. La Raji tidak memakai alas kaki sebagaimana lazimnya, ia mengenakan terompah dari batok kelapa yang diikat dengan tali panjang dan dipegang kedua ujungnya. Walau demikian, seringkali ditengah perjalanan la raji dapat mendahului dan telah menanti disimpang sungai dan sekitar doro naga. Utusan itupun melewatinya dengan terheran-heran dan melanjutkan perjalanan. Ketika tiba di mbata mboha, utusan semakin heran karena melihat la raji telah berada dimajelis para ncuhi.

Sangaji bertanya kepada utusan; dimana la raji. Tiba-tiba dari arah belakang majelis muncul suara, “io mada ta sangaji” (saya ada di sini sangaji). Maka dimulailah sidang  majelis para ncuhi. Inti pembahasannya adalah bagaimana cara menghukum ngaro la ngawu atas kejahatannya yang terkenal sakti. Para ncuhi bersepakat untuk menyerang Wilamaci, tetapi tidak ada yang berani memberi komando. Maka berdiri la Raji dan berbicara dengan suara lantang; “kalau demikian kesepakatan para ncuhi dan menjadi titah paduka sangaji maka hamba yang akan menghukum ngaro la ngawu”.
Maka berangkatlah la raji mendahului para ncuhi menuju wilamaci. La raji mampir di doro diha, mengambil tombak bernama la kama’a ma ndana dan anjing berburu yang disebut dalam bahasa Bima lako me’e loko linta; Anjing hitam dengan garis-garis hitam sebesar lintah diperutnya. ini mencirikan anjing berburu yang handal.  Kediaman la raji berupa batu besar yang memiliki 2 gua, sampai sekarang dapat dilihat disekitar mata air oi rana.

Sesampainya di gunung wa’i kancio. la raji memandang langit; turunlah hujan deras. Sehingga nyamuk-nyamukpun tak dapat keluar dari sarangnya. lako me’e loko linta dilepas untuk melacak tempat persembunyian ngaro la ngawu. Persembunyian itu berupa benteng dengan pagar yang tinggi berlapis-lapis. Pada lapis pertama la raji menyampaikan salam pada penjaga dan menyampaikan maksudnya.
 “Hei raji, au ne’e mu” (Apa mau mu, hai Raji?),  tegur penjaga gerbang. “nahu ka mai ‘batu majuku, ana rangga ncuri wanga ta loko ina na”. Artinya saya sedang memburu  rusa jantan yang sedang tumbuh tanduknya didalam perut induknya, Jawab la raji. “Bune bae ade kaimu ncuri wanga na”. (Bagaimana kamu bisa tahu rusa jantan yang tumbuh tanduknya), tanya penjaga.”na wati si ncuri wanga na, laina maju nahu”. (Kalau tidak tumbuh tanduknya berarti bukan rusa saya), Jawab la raji.

Penjaga pintu benteng tak mampu berargumen lagi. Karena pandai bersilat lidah,  Maka di biarkan raji melewati pintu pertama hinga pintu ke tujuh dimana telah menunggu ngaro la ngawu. ‘hei apakah itu kamu, raji?’ tegur ngaro la ngawu. ‘ia ini saya’ jawab la raji. ‘alangkah beraninya engkau’, kata  ngaro la ngawu.’kenapa tidak’, jawab la raji. “ma loa ja Toja nggomi, raji?” (apakah kamu bisa terbang, raji?), tanya la ngaro la ngawu. “sa bua ndaimu ma loa ro?”  (apakah kamu bisa), jawab la raji. ‘tio ake’ . (lihat ini), kata ngaro la ngawu sambil melayang –layang di udara dan kembali berpijak di tanah.
“Loa si ndai mu, loa ja pu nahu”. (Kalau kamu bisa maka aku pun bisa), kata la raji sambil melayang layang di udara. Tapi ketinggiannya belum mampu melewati ngaro la ngawu. Kembali ngaro la ngawu meloncat ke udara dan melayang tinggi. La raji tak dapat melampauinya. Melihat hal yang demikian, ngaro la ngawu menjadi lupa diri dan lengah. 

la raji melihat ini sebagai kesempatan dan peluang untuk menyerang. maka ia ber ‘toja’  tinggi-tinggi hingga tak terlihat lagi. Ngaro la ngawu terkesima. Tiba-tiba dari atas meluncur tombak la kama’a ma ndana dan menancap tepat di jempol kaki ngaro la ngawu. Mendapat serangan yang tak terduga sedemikian rupa, ngaro la ngawu tak dapat menghindar dan tewas seketika. Melihat tuannya tewas para pengikut ngaro la ngawu berhamburan menyelamatkan diri. Bersamaan dengan itu, para ncuhi menerobos masuk dan menaklukkan benteng wilamaci itu.

La raji memotong kedua daun telinga ngaro la ngawu sebagai bukti telah terbunuhnya ncuhi wilamaci itu dan sebagai hukuman atas kejahatan yang telah dilakukannya. La raji menjemput ibunya dan mengambil mahkota bertanduk emas warisan ayahnya. La raji kembali ke doro diha bersama ibunya dan menuju mbata mboha untuk melaporkan hasil perjuangan kepada sangaji.

Ternyata para ncuhi tiba lebih awal, dan melapor kepada sangaji bahwa merekalah yang telah mengalahkan ngaro la ngawu dengan menunjukkan bagian tubuh yang telah terpotong-potong. Tapi sangaji mengatakan, “laina nggomi doho”. (Bukan kalian), kata sangaji. “Tapi, orang yang dapat menunjukkan kedua daun telingga ngaro la ngawu”. Maka muncullah la raji menunjukkan kedua daun telinga yang dimaksud. Demikian mpama la raji ini.

Mpama la raji ini menjadi legenda bagi masyarakat Diha. La raji adalah pahlawan dan penjaga; dianggap tetap ada dan hidup dihati masyarakat diha hingga kini. Banyak kesaksian dari warga Diha yang bertemu “secara spiritual” dengan la Raji di Doro diha sekitar batu besar yang dahulu menjadi rumahnya. La Raji menjadi sumber inspirasi bagi kelestarian hutan doro Diha.

              GAMBAR : BATU BESAR PENINGGALAN LA RAJI (UMA LA RAJI = BIMA)
Survey Lapangan BLHP Provinsi NTB dan BLH Kab. Bima
                              Gambar : Kepala Desa SIE Kec. Monta Kabupaten Bima
 
B.   SEJARAH NAMA MATA AIR

Mata air “OI DIWU RANA” oleh masyarakat sekitar Desa Sie dan khususnya dusun Diha untuk konsumsi air minum, irigasi pertanian dan air minum ternak.
Nama Mata air “OI DIWU RANA” oleh para leluhur masyarakat dusun Diha yang mengandung arti sebagai air penghangat yang artinya suhu air ini pada pagi hari terasa sangat hangat sehingga pada saat orang mandi pagi hari seperti ada uap air yang keluar dari permukaan air dan terjadi kebalikan kalau pada siang hari akan berubah suhunya menjadi dingin sekali meskipun air tersebut sudah terkena penyinaran matahari.
Dari cerita rakyat tersebut maka mata air dikenal / dinamakan  oleh masyarakat dusun diha dan sekitarnya mata air “OI DIWU RANA”  



        III.         KEADAAN WILAYAH DESA SIE / DUSUN DIHA


Desa Sie merupakan salah satu desa dari 9 (sembilan) Desa yang terdapat di Kecamatan Monta Kabupaten Bima dengan Luas wilayah  dan Jumlah Penduduk : 3.950 Jiwa.  Dari luas tersebut merupakan lahan pertanian dengan topografi wilayah datar sampai berombak dengan ketinggian tempat 300 m diatas permukaan laut ( dpl ), suhu maximum / minimum 270C, curah hujan setiap tahun 180 hr 40 mm, dengan bata-batas wilayah sebagai berikut :
1.        Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tangga;
2.        Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Simpasai;
3.        Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Laju Kecamatan Langgudu dan ;
4.        Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Woro Kecamatan Madapangga.
            Dari Luas wilayah tersebut diatas berdasarkan penggunaan tanahnya dapat dirinci sebagai berkut :
1.    Tanah Sawah                          : 430 Ha
a.    Irigasi Teknis                 : 356 Ha
b.    Irigasi setengah teknis    : 24 Ha
c.    Tadah Hujan                  : 50 Ha
2.    Tanah kering/ladang                 : 45 Ha
3.    Tanah Hutan                           : 989 Ha
4.    Tanah Perkebunan                   :390  Ha
5.    Tanah Keperluan Fasilitas Umum : 1332 Ha
6.    Tanah keperluan fasilitas sosial  : 1875 Ha
Penduduk Desa Sie dengan Jumlah :  3.950  Jiwa dengan klasifikasi :
a.    Laki-laki              : 1.897 Orang
b.    Perempuan          : 1.997 Orang
Jumlah KK sebanyak :  980 KK  dengan mata  pencaharian bertani 90 % dan 10 % bermata pencaharian wiraswasta dan pegawai negeri sipil.
Pemerintah Desa Sie terdiri dari :
a.  Dusun : 3 Dusun terdiri dari :
-   Dusun Waworada
-   Dusun Sie
- Dusun Diha
b.  LPM
c.  BPD
d. Karang Taruna
e.  PKK
Sarana dan Prasarana yang dimiliki oleh Desa Sie antara lain :
f.  Sarana Kesehatan          :   2 Unit
g.  Sarana Keagamaan        :   8 Unit
h. Sarana Pendidikan          :   6 Unit terdiri dari (3 Inpres, 1 SD, 1 SMK dan
                                       2 PAUD )
i.  Transportasi jalan Desa  : 19 Km
j.  Masjid                           :   3 Unit

IV.         KELEMBAGAAN / PENGELOLA MATA AIR “OI DIWU RANA”

Kawasan Hutan sekitar mata air untuk menjaga dan melestarikan sumber-sumber mata air yang terdapat didalamnya dibentuk kelembagaan pengelola dan Pemanfaat mata air antara lain :
  a.  P3A Desa Sie sebagai pengelola air irigasi secara teknis untuk irigasi pertanian sehingga pengaturannya merata sampai ke lahan-lahan pertanian
  b.    Kelompok Pemberdaya dan Pemanfaat Mata Air “OI DIWU RANA” Dusun Diha Desa SIE Kecamatan Monta.


      V.         PEMANFAATAN MATA AIR “OI DIWU RANA”
Mata air “OI DIWU RANA” dimanfaatkan untuk :
1.     Irigasi Pertanian mengairi lahan pertanian seluas 35 Ha dan untuk lahan perkebunan seluas 18 Ha.
2.     Sebagai Air Minum
Mata air “OI DIWU RANA” di manfaatkan untuk air minum yang di aliri perpipaan sampai ke bak penampung sepanjang 280 m yang merupakan bantuan dari Pemerintah dan swadaya masyarakat Dusun Diha untuk kebutuhan  42 KK
3.     Air Minum Ternak dengan populasi ternak sebagai berikut :
4.     Jenis tanaman yang ada disekitar Dusun Diha : Beringin, monggo, Manggis hutan dan Gaharu=Nara (Bima) dll.

   VI.      KEGIATAN YANG DILAKUKAN UNTUK MENJAGA DAN KELESTARIAN MATA    
           AIR “OI DIWU RANA”

          Beberapa kegiatan yang diupayakan untuk menjaga kelestarian hutan disekitar mata air    dilakukan Penghijauan secara swadaya oleh  masyarakat Dusun Diha. 

   VII.   PENUTUP


Demikian Profil Kelompok Pemberdaya dan Pemanfaatan Mata Air “OI DIWU RANA” dibuat sebagai gambaran umum dari kondisi mata air yang dapat kami paparkan, mudah-mudahan apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kita semua.
           


Penulis : Hafed Baqilani, ST

             



Klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kontak Kami

Powered byEMF Online Form